hti-5baa1edbab12ae3c2467cb64

Indonesia dengan Inggris pernah menjadi dua negara yang paling diincar oleh Hizbut Tahrir. Di mata mereka, kedua negara itulah yang memberikan ruang lebih leluasa untuk mereka hidup, bergerak, dan berkembang. Di Indonesia sendiri, mereka mengindonesiakan diri dengan melekatkan nama negara ini pada nama partai mereka hingga menjadi Hizbut Tahrir Indonesia.

Mereka berhasil. Setidaknya mereka berhasil mencitrakan diri sebagai sebuah gerakan yang memperjuangkan Islam, dan mampu meyakini banyak orang bahwa mereka ada dan bergerak semata-mata untuk memperjuangkan dienullah (agama Allah).

Di sisi lain, ada ganjalan yang terdapat di organisasi ini hingga mereka pun menuai sorotan, terutama dari kalangan intelektual yang memahami sejarah pergerakan di berbagai belahan dunia. Mereka mencium gelagat, ada usaha internasionalisasi yang sedang digerakkan oleh organisasi tersebut. Itulah yang kemudian dan digaungkan, hingga belakangan penolakan terhadap HTI mulai menyeruak, hingga pemerintah pun menutup pintu untuk organisasi ini.

Ada persoalan, sebagian kalangan politik justru menjadikan terjegalnya langkah HTI di negeri ini menjadi jalan bagi mereka mengembuskan hasutan hingga agitasi bahwa pemerintah membenci Islam, dan pemerintah membungkam kekuatan Islam.

Di tingkat akar rumput hasutan hingga agitasi itu lumayan mendapatkan tempat. Bahkan tidak sedikit yang–jika ditilik mendalam–begitu meyakini bahwa HTI adalah organisasi Islam, dan membenci organisasi ini sama artinya membenci Islam.

Di sinilah HTI bisa dikatakan berhasil. Sebab mereka mampu membawa pengaruh hingga ke elite politik negeri ini sendiri. Terbukti, ada banyak elite politik yang memperlihatkan sikap kompromis dengan mereka, dan menunjukkan sikap bersahabat terhadap organisasi ini.

Sikap elite politik yang kompromistis terhadap HTI sekilas memang dapat terasa sebagai sekadar sebuah langkah politik saja. Sebab jika mereka menunjukkan simpati terhadap organisasi ini, maka publik awam dan garis keras bisa teryakinkan bahwa elite-elite tersebut memang memiliki keberpihakan terhadap Islam.

Inilah yang belakangan menjadi sebuah narasi: bahwa berpihak terhadap HTI berarti berpihak terhadap Islam, dan menolak HTI berarti menolak Islam. Di sinilah pekerjaan pemerintah menjadi rumit, karena langkah mereka mengadang HTI yang sejatinya justru untuk menjaga negeri ini sendiri agar terbuka untuk semua anak bangsa dari agama dan suku bangsa apa saja, tersandung oleh elite-elite politik di luar pemerintah.

Ada pendapat menarik yang dikemukakan oleh Smith Al Hadar, pengamat Timur Tengah, bahwa HTI memang memiliki ciri tersendiri dalam memanfaatkan kesempatan. HTI yang memang memiliki cita-cita memperjuangkan khilafah, akan memanfaatkan perseteruan elite politik di sebuah negara untuk memuluskan rencana mereka.

Smith, melansir BBC.com (19 Juli 2017), mencontohkan dengan yang terjadi di negara-negara Arab sendiri. Menurutnya, di Arab, Hizbut Tahrir memanfaatkan oposisi sampai dengan militer agar bisa mengambil alih kekuasaan dari pemerintah yang berkuasa. Mereka akan melakukan kolaborasi dengan kedua unsur partai politik hingga militer dan mereka sendiri akan menjadi ujung tombak pemerintahan baru.

Beruntungnya di Arab, menurut Smith, karena di sana sudah mulai semakin menguatnya nasionalisme. Ketika nasionalisme menguat, maka langkah Hizbut Tahrir akan tersendat atau bahkan berhenti sama sekali.

Petunjuk lain yang juga diungkapkan oleh pengamat dari Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) tersebut adalah ciri Hizbut Tahrir yang memang lihai memanfaatkan keadaan. Meskipun mereka dilarang pun, anggota organisasi tersebut bisa saja menyusup ke dalam organisasi lain.

Berkaca ke dunia Arab pula, keberadaan Hizbut Tahrir akhirnya justru diberangus karena ketika mereka ada maka ritme masyarakat di sebuah negara dipastikan akan terganggu. “Jadi lebih baik dilarang sekalian karena kalau mereka mampu, mereka bisa gunakan kekerasan di dalam membentuk pemerintahan,” kata Smith, kepada BBC. “Ini yang kemudian menjadi alasan penting bagi pemerintahan di Arab untuk membubarkan Hizbut Tahrir.”

Tercatat, sejauh ini beberapa negara yang acap diidentikkan dengan negara Islam pun menolak keberadaan organisasi itu, seperti Arab Saudi, Mesir, Suriah, Libya, Yordania, hingga Turki menegaskan penolakan terhadap Hizbut Tahrir. Cukup menjadi bukti, bahwa negara-negara itu masih mampu dengan jernih melihat bagaimana bahayanya jika organisasi yang getol membawa nama agama tersebut dibiarkan.

Apalagi karena sejak awal berdiri pun organisasi ini sudah memperlihatkan kekhasan mereka untuk melawan hingga membenturkan diri dengan kebijakan negara di mana mereka berada. Maka itu juga Uzbekistan, Kirgistan, hingga Rusia juga berada di barisan negara yang menolak organisasi tersebut seperti halnya Arab Saudi dan Mesir.

Apa yang dilakukan oleh negara-negara yang menolak Hizbut Tahrir itu tentu saja karena mereka ingin mencegah riak-riak yang dapat saja timbul. Sebab dalam pandangan Hizbut Tahrir hanya konsep yang mereka usung sajalah (khilafah) sebagai pijakan paling benar dalam bernegara. Sedangkan masing-masing negara tentu saja sudah memiliki pegangan masing-masing yang telah disesuaikan dengan berbagai realitas hingga kemajemukan yang mereka  miliki.

Tidak mengherankan jika salah satu negara tetangga yang juga terkenal sebagai negara yang menonjolkan keislamannya seperti Malaysia pun menolak Hizbut Tahrir. Per 17 September 2015, pemerintah Malaysia telah menetapkan Hizbut Tahrir sebagai organisasi terlarang. Tidak itu saja, bahkan kepada siapa saja yang terbukti menjadi pengikut organisasi tersebut akan mendapatkan sanksi hukum yang tegas.

Bagaimana dengan Indonesia?

Pemerintah baru menunjukkan sikap terhadap organisasi Hizbut Tahrir Indonesia pada 19 Agustus 2017 lalu. Langkah yang diambil adalah dengan mencabut status hukum organisasi ini oleh Kementerian Hukum dan HAM.

Di sinilah persoalan lain menyeruak, yang tidak lepas dari andil beberapa elite yang melihat kebijakan melarang keberadaan HTI sebagai celah untuk mencuri simpati masyarakat awam. Incaran elite yang menentang pelarangan HTI tentunya adalah masyarakat yang masih potensial dimanfaatkan untuk mendulang suara yang dibutuhkan kubu politik mereka.

HTI Mirip PKI

Sebagai strategi politik, memanfaatkan HTI untuk sebuah kepentingan politik memang sekilas sah-sah saja. Apalagi terbukti, selama ini isu tersebut terbilang berhasil membuat masyarakat termakan perasaan yakin bahwa pemerintah anti-Islam hingga vonis pemerintah memusuhi Islam.

Jika menyimak perbincangan yang viral di berbagai media sosial pun, kian meyakinkan bahwa HTI telah menjadi senjata bagi sebuah kekuatan politik untuk memburu simpati dan perhatian publik. Bagi elite politik, terlepas sebagian mereka dari kalangan nasionalis, namun keberadaan isu terkait organisasi itu adalah sebuah alat bantu penting untuk menghantam pemerintah.

Terlebih lagi pemerintah pun terbilang “terlalu ramah”. Setidaknya di berbagai media sosial, beberapa figur publik yang memainkan isu dan narasi yang berisiko memunculkan perpecahan itu–berupa tuduhan bahwa pemerintah memusuhi Islam–masih aman-aman saja mengembuskan isu tersebut.

Bahkan mereka–sebagian besar adalah kubu oposisi atau simpatisan–berusaha mengaburkan ancaman HTI dengan meniupkan isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia. Sementara jamak diketahui, PKI sendiri sudah jauh-jauh hari masuk ke dalam kuburannya. Tap MPRS No. 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menandai “kematian” organisasi komunis itu masih berlaku.

Maka itu, sejatinya posisi PKI dan HTI dapat dikatakan setara, karena memang keduanya sama-sama tidak mendapatkan izin lagi dari negara. Sayangnya, permainan segelintir elite politik, cenderung mengajak melihat satu sisi saja. Mereka memunculkan kesan bahwa yang memusuhi HTI adalah PKI, dan ini masih terus digaungkan di berbagai media sosial.

Bahkan belakangan, peniup isu tersebut kian berani saja, dan bahkan ada beberapa yang melemparkan framing bahwa pendukung pemerintah sama saja sebagai pendukung PKI. Lagi-lagi, peniup isu tersebut yang beredar di berbagai media sosial, misalnya, masih bisa melakukan pekerjaan mereka dengan aman-aman saja.

Sekilas dapat dipahami bahwa pemerintah ingin bersikap agar tidak ada tindakan-tindakan berlebihan, meskipun tuduhan-tuduhan itu sendiri sudah sangat melampaui batas. Tindakan tegas pemerintah dapat saja menjadi senjata sebagian elite politik mengembuskan isu seperti yang getol muncul akhir-akhir ini, bahwa pemerintah represif hingga diktator.

Padahal, jika dilihat lagi lebih jauh, membiarkan peniup isu yang membodohi masyarakat sama saja memberikan keleluasaan kepada kalangan yang terlalu haus kekuasaan untuk menghancurkan negeri ini. Sebab isu-isu itu terbukti mampu memantik emosi, kemarahan, kejengkelan, dan berbagai sikap yang berpotensi membawa bahaya. Jika emosi itu makin membesar, dapat saja suatu waktu nanti akan menjadi api yang terlalu sulit untuk dikendalikan.

Sebab, bukan rahasia lagi jika emosi sudah terlalu membuncah, maka nalar dan pikiran jernih justru musnah. Anda mungkin belum lupa, bagaimana baru-baru ini seorang remaja yang mendukung satu tim sepak bola pun bisa dibunuh secara keji. Hanya berbeda klub sepak bola saja bisa melahirkan kekejian seperti itu. Sekarang bayangkan dengan makin leluasanya narasi-narasi yang justru menutup-nutupi bahaya HTI, dan membawa-bawa dongeng PKI, yang bisa memantik emosi, apakah bisa menjamin kekejian seperti itu takkan terjadi?

Kita berharap, sudahlah HTI dan PKI sama-sama sudah mati. Sekarang yang diperlukan adalah menghidupkan pikiran jernih dan kemauan politik yang mencerdaskan. Perbedaan politik semoga tidak menjadi alasan untuk saling hantam hingga masyarakat awam pun ikut-ikutan main hantam. Cukuplah organisasi-organisasi yang berpotensi merusak untuk tidak hidup lagi, namun cinta untuk negeri ini dan penghuninya tetap hidup.***

Zulfikar Akbar | Editor, Keisha M Marthin