alodokter

Bogor, Jawa Barat | Kemarin, saya menulis tentang Malu dan tak Tahu Malu. Malu bermakna merasa sangat tidak enak hati, hina, rendah, tak mampu, karena berbuat sesuatu yang kurang baik (kurang benar, berbeda dengan kebiasaan, mempunyai cacat atau kekurangan, dan sebagainya); segan melakukan sesuatu karena ada rasa hormat; merasa renda karena berada di tengah-tengah orang penting.

Sedangkan, tak tahu malu adalah kebalikan dari malu. Tidak tahu tahu malu tak sederhana itu, melainkan datang dari dalam jiwa/diri seseorang. Tak tahu malu bisa dan biasanya dikategorikan ke dalam (i) tak tahu malu sesaat atau sementara, (ii) tak tahu malu karena gangguan medis atau penyakit fisik, (iii) tak tahu malu karena gangguan jiwa

===

Saya memang sengaja menulis tentang malu dan tak tahu malu, sebagai “pintu masuk” ke dalam hal lain yaitu Tak Tahun Malu Politik, dan Politik Tak Tahu Malu Politisi Tak Tahun Malu.

Tak tahu politik, bagaimana bentuknya!? Jika tidak tahu malu dan politik digabungkan, maka, menurutku, cukup sulit menemukan paduan yang cocok, sehingga bisa membangun makna atau maksud “Tak Tahu Malu Politik dan Politik Tak Tahun Malu. Namun, faktanya, tak tahu malu politik dan politik tak tahu malu, telah menjadi bagian dari Tak Tahu Malu; melengkapi kategori Tak Tahu Malu yang sudah ada (lihat di atas).

Dengan demikian, ini hanya suatu usulan, maka Tak Tahu Malu Politik adalah “Perbuatan yang tak seharusnya terjadi (karena tidak baik, cacat, penuh kekurangan) pada bidang politik (politik berarti seni pemerintah memerintah; ilmu memerintah; cara pengusaha menguasai).

Pada sikon itu, terutama politisi dan parpol, jika tetap saja melakukannya, maka yang terjadi adalah Politik Tak Tahu Malu. Selanjutnya, para politisi yang melakukannya disebut Politisi Tak Tahun Malu

Nah, jika diperhatikan secara mendalam, maka dengan mudah, Anda dan saya, akan menemukan Politisi Tak Tahu Malu Politik, yang melakukan Politik Tak Tahu Malu.

Mereka bisa ada di mana-mana, terutama Parpol; yang memerintah maupun tidak. Misalnya, politisi yang menggunakan agama sebagai alat untuk mencapai kedudukan serta kekuasaan. Dan ada juga pemuka agama (organisasi keagamaan) yang memakai trik-trik politik untuk mencapai dan mempertahankan kepemimpinan terhadap umat.

Jika politisi menggunakan agama sebagai alat untuk mencapai kedudukan serta kekuasaan politik, maka hal itu menunjukkan ketidakmampuan dan ketidakterampilan berpolitiknya. Ia hanya mempunyai motivasi untuk mencari untung dari kedudukan serta kekuasaan politik, dalam rangka memperkaya diri sendiri sekaligus mencari nama.

Politisi seperti itu, tidak mempunyai kepekaan terhadap permasalahan dan pergumulan umat manusia atau masyarakat luas. Jika ada yang ia perjuangkan, maka hanya akan memperhatikan atau demi kepentingan orang-orang tertentu seperti mereka yang seagama dengannya.

Politisi Tahu Malu Politik, juga sering kali melupakan rakyat yang memilih dirinya sehingga menjadi anggota Parlemen; sehingga merasa diri hebat, jago, dan mempunyai kekuasaan parlementer. Dengan itu, ia seenaknya mengeluarkan pernyataan yang justru tidak bermartabat dan sesuai etika politik.

Selain itu, Politisi Tak Tahu Malu Politik juga lebih suka tampil (terutama melalui pernyataan-pernyataan) beda dari garis politik parpolnya atau pemerintah. Mereka lebih suka memberikan pernyataan yang melawan arus, tanpa fakta dan data yang akurat, yang penting bunyi dan berbeda, sehingga “menjadi dikenal;” mereka mungkin saja ikuti pakem basi, “melawan orang terkenal, agar terkenal.”

Politisi Tak Tahu Malu Politik, selalu ada di semua rezim; mereka bisa muncul sebagai oposisi semu terhadap rezim yang berkuasa, atau pun sebagai duri dalam daging pada rezim yang memerintah. Mereka, tak bisa dihilangkan, selalu ada dan muncul pada saat yang tepat dan tak terduga. Siapa mereka? Kita, Anda dan saya, tak bisa menuding dan menuduh, namun, dari “bunyi, suara, dan baunya” bisa terlihat siapa dia; ia ada, dan hanya memperkeruh suasana.

Pilpres 2024 dan Politik Tak Tahu Malu

Mungkin Anda pernah baca premise ini?

Golkar Berkuasa 32 Tahun
Demokrat Berkuasa 10 Tahun
PDIP Berkuasa 10 Tahun

Premise. yang bersumber dari Opa Jappy, tersebut beredar di banyak Grup WA, dan memunculkan berbagai tanggapan. Penyebabnya, kelanjutan dari premise di atas adalah, “Golkar dan Demokrat cukup legowo ketika kehilangan kekuasaan; mereka nyaris tidak melakukan hal-hal di luar akal sehat untuk mempertahankan kekuasaan. Beda dengan PDIP. Mereka menikmati kekuasaan, dan mungkin saja sangat tidak terbatas. Kenikmatan tersebut menghantar mereka agar mempertahankannya. Itu tak salah, boleh-boleh saja. Sayangnya, mereka lakukan dengan cara-cara tak ada etika, brutal, barbar, serta menggunakan politik benci dan kebencian.”

Lihatlah sejumlah posting di Medsos, banyak orang menyayangkan cara mempertahankan kekuasaan tersebut. Dan, yang paling menyakitkan, brutal, dan tak tahu malu adalah “PDIP” menyerang Presiden Joko Widodo sebagai Biang Kerok keonaran; bahkan menutup mata terhadap semua karya besar yang telah dilakukan Presiden pada 10 tahun belakangan.

Agaknya, menurut PDIP, dulunya tidak, sekarang Jokowi selalu salah dan tak tak tahu berterima kasih; ia adalah Petugas Partai yang melawan dan tak tunduk pada PDIP. Dan, yang paling mengemuka adalah, Petugas Partai yang tidak secara terang-terangan mendukung Capres yang diusung PDIP serta Presiden, yang petugas partai itu, tidak mau membantu PDIP agar tetap berkuasa. Bisa dikatakan, PDIP berusaha agar Presiden harus tidak netral dan berpihak pada Capres usungan mereka.

Mungkin saja, PDIP menyadari bahwa lumbung suara rakyat untuk memenangkan Capres adalah “Suara Rakyat; Rakyat yang mengasihi dan mendukung Jokowi.” Oleh sebab itu, menurut PDIP, Jokowi harus di-negatif-kan, ia tak sebesar dan sehebat yang dikira rakyat.

PDIP berhasil? PDIP mengira mereka berhasil. Hanya sejumlah kecil rakyat yang uneducated, kurang wawasan, miskin literasi, dan malas baca yang berhasil dibodoh-bodohin PDIP. Rakyat yang cerdas, tidak mengikuti gelombang arus, orasi dan narasi kebencian, dari PDIP. Rakyat dan sejumlah Relawan Jokowi, justru menyerang balik PDIP. Permainan PDIP, mudah tertebak, sungguh tak tahu malu. Mereka menabur angin, kini menuai badai. Yah, menurutku, PDIP sementara menghempaskan rasa malu ke jurang di bawah dalam; kemudian, bermain-main dengan Rakyat dengan cara tidak tahu malu; itulah politik tak tahu malu PDIP.

Jadinya, sekali lagi menurutku, “Silakan PDIP melanjutkan rencana, karya, orasi dan narasi yang menyerang Presiden Joko Widodo.” Tapi, ingat Rakyat tak bodoh dan mudah tertipu dengan orasi dan narasi sesat, benci, kebencian, penyesatan publik. Rakyat yang sabar, masih penuh kesabaran. Nanti pada Pemilu/Pilpres 2024, dalam diam dan kesabaran tersebut, mereka akan menghukum PDIP.

Mari Menghukum PDIP pada 2024

Bogor, 20 Nov 2023
Opa Jappy | Indonesia Hari Ini
WA +62 81 81 26 858
Editor, RTJ, Jambi